Dahulu anak-anak mengidolakan tokoh kesayangan mereka masing-masing. Mungkin sosok Spider-Man yang diidolakan anak laki, atau Cinderella bagi anak perempuan. Mereka tertarik meniru bagian dari tokoh kesayangannya. Entah itu kekuatannya, kecantikan, kepandaian atau sifatnya. Demikian pula dengan orang saat ini. Perilaku “Mengekor” sudah menjadi budaya baru di kehidupan masyarakat.
Fenomena ini tidak berhenti begitu saja. Saat tumbuh dewasa, kegiatan meniru ini masih berlanjut. Saat pikiran kita sudah matang, (bukan lagi anak kecil yang gemar dengan cerita fiksi) kita meniru apa yang kita sukai. Sebut saja artis favorit. Ya, mereka itulah cermin dari gaya hidup bagi seseorang yang berbudaya “mengekor”.
Apalagi ditambah dengan segala pengetahuan dan informasi yang begitu instan. Segala kehidupan orang lain, dengan mudah begitu saja kita lihat di sosial media.
Segala aspek dari orang-orang itu kita tiru. Mulai dari pakaian, makanan, ucapan dan tindakannya.
Semua akan baik-baik saja apabila yang kita tiru adalah objek yang baik. Kita dapat meniru aspek positif dari orang lain. Tapi bagaimana jika yang kita tiru itu adalah hal sia-sia atau malah buruk untuk kita?
Contohnya saja ketika jargon Ashiyap yang populerkan oleh seorang youtuber ternama tanah air, sekarang jargon itu menggantikan jawaban baik dan iya. Kalimat singkatan seperti bucin, jargon Ampun Bang Jago, Tarik Sis Semongko, jadi heboh di sendi bermasyarakat. Yang sekarang kita kenal dengan istilah Viral. Gaya rambut berwarna, pakaian ketat, makan di tempat yang bisa diupload ke Instagram pun tidak luput ditiru. Bahkan yang lebih parah lagi ketika kita meniru orang yang melampiaskan kelelahan hidupnya pada obat-obatan terlarang dan lebih parah lagi ada yang hingga bunuh diri.
Sangat jarang sekali untuk saat ini kita temui orang yang benar-benar berdaulat dalam tindakan dan gaya hidupnya. Seakan mereka tidak bisa atau tidak mau untuk menjadi diri mereka sendiri.
Padahal ada banyak sekali dampak buruk dari budaya Perilaku mengekor atau meniru. Salah satunya yaitu merasa kurang dengan apa yang sudah kita miliki. Ini yang sangat sering dialami anak muda. Ketika dia membuka halaman aplikasi sosial medianya, ia melihat teman mempublikasikan pekerjaannya, pasangannya, harta-benda, dan kehidupan sehari-harinya.
Saat itu pula membandingkan kehidupan kita dengan orang lain tidak dapat terhindarkan.
Akhirnya, setiap hari kita akan dibuat lelah dengan keluhan pada diri kita sendiri.
Kemudian, meniru juga akan menimbulkan sifat malas. Yang berujung pada gaya konsumtif dan hedonis. Ya, bisa dilihat sekarang. Belanja di online shop menjadi ajang untuk meludeskan uang gaji hasil ia bekerja selama berjam-jam dalam sehari.
Memang, bagi sebagian orang itu wajar. Karena mau tidak mau manusia harus mengalami proses perkembangan zaman. Tapi mengapa kita harus meniru orang lain? Bukankah meniru itu imitasi dan tidak orisinil.
Tapi Tuhan menciptakan manusia dengan keutaman-keutamaannya sendiri. Jika menjadi ikan, sangat tidak mungkin meniru burung untuk terbang. begitu pula dengan kura-kura yang bisa berlari secepat Harimau.
Jadi, Apakah kita akan patuh pada ketetapan Tuhan untuk berdaulat menjalankan peran kita dengan sepenuh hati, atau kita berani untuk mengingkari-Nya?
Oleh: M. Iqbal Imanullah
Komentar
Posting Komentar